Ada satu fase dalam hidup saya yang saya pikir tadinya akan saya tutup rapat-rapat sampai kapanpun. Fase dimana saya ada di titik terendah dalam hidup saya. Fase dimana saya menghabiskan waktu untuk menangis dan menangis. Dan fase dimana saya mengisolasi diri dari dunia luar dan tenggelam dengan pikiran-pikiran negatif saya.
Sekarang setelah semuanya sudah berlalu, dan saya berada dikondisi yang sangat stabil, saya tersadar bahwa banyak hikmah di balik itu semua. Semoga cerita ini bisa membantu teman-teman yang sedang berada dengan kondisi yang sama seperti saya waktu itu, untuk bangkit dan menemukan apa yang dicari selama ini.
***
Semuanya itu bermula ketika saya sedang berada di tahun terakhir SMA di 2009. Sebelum itu, sejujurnya saya punya kehidupan yang sangat membahagiakan. Alhamdulillah, saya gak pernah ada masalah besar dalam hidup, baik ekonomi maupun keluarga. Hidup saya diwarnai dengan kecintaan saya dengan komik, film, musik, game, seni, main dengan teman-teman dan adik-kakak. Memang dalam perjalanannya ada batu-batu kerikil, tapi itu semua persoalan yang wajar.
Namun di penghujung SMA, saya mulai merasa ada yang mengganjal pikiran saya. Setelah ini, lantas apa lagi yang harus saya lakukan? Setelah ini apa lagi?
Selepas SMA saya ikut berbagai macam ujian masuk universitas negeri. Saya orangnya ambisius dan suka menggapai target-target tertentu. Maka saya pikir, ganjalan pikiran itu harus saya tebus dengan diterimanya saya di kampus negeri yang ternama. Saya belajar mati-matian. Namun, ternyata saya gak keterima di PTN manapun. Waktu itu saya kecewa luar biasa. Ya sudah, akhirnya saya terpaksa masuk PTS karena saya harus sekolah bagaimanapun juga. Tapi, beberapa bulan kuliah di PTS tersebut, pikiran itu muncul lagi: Lantas, apalagi yang harus saya lakukan?
Entah kenapa di dalam bis perjalanan pulang dari kampus, saya seringkali menangis tanpa sebab. Saya merasa sedih dan kosong. Saya terus mencari.. mungkinkah karena lingkungan PTS saya kurang serius menuntut ilmu? Maka, tahun itu, saya berambisi untk pindah ke PTN agar saya punya semangat untuk tetap belajar. Pikir saya, masuk PTN itu sulit sekali, pastinya mahasiswa-mahasiswa yang diterima gak mungkin main-main dan pasti serius belajar di sana, maka saya yang mulai kehilangan semangat hidup, juga pengen kecipratan semangat mereka. Alhamdulillah, SNMPTN berikutnya, saya diterima di PTN luar kota.
Namun, gak disangka hari pertama di kota tersebut adalah hari terburuk saya. Saya bingung apa yang saya cari di kota asing ini? Apalagi diperburuk dengan tinggal sendiri di kosan. Maka pikiran saya akhirnya mengakar kesana kemari. Kenapa saya pindah dari PTS? Bukannya banyak biaya keluar? Bisa punya temen gak ya di sini? Setelah lulus kuliah lalu apa lagi? Lulus untuk apa? So on.. and so on.. Entahlah, sejak kuliah hidup jadi menawarkan banyak pilihan, pikir saya waktu itu.
Mulai dari situlah saya merasa sedih, minder, lelah, dan hampa luar biasa :”””( Hidup segan mati tak mau. Saya merasakan depresi. Saya bingung total, sebenarnya apa sih yang saya cari? Bertahun-tahun frustasi dan kebingungan membuat saya berada di titik nadir kehidupan. Saya akhirnya jadi sensitif dan takut kalau berinteraksi dengan orang lain. Saya habiskan beberapa tahun pertama kuliah dengan mikir, mikir, nangis sepanjang hari, kuliah, sholat, nangis. Hampir setiap hari saya merindukan kebahagiaan saya di masa lalu. Bahkan saya bingung saya ini kayak gimana ya orangnya? Sampai-sampai saya google “bagaimana mencari jati diri”. Saya lupa bagaimana diri saya sebelum ini semua terjadi. Setiap bangun tidur saya diliputi ketakutan luar biasa, dan sebelum tidur saya menangis karena kepikiran semua ucapan orang yang masuk ke telinga dan pikiran-pikiran negatif saya. Ada jutaan opini manusia yang masuk dan saya bingung harus menempatkan diri di yang mana. Sungguh melelahkan. Secara fisik normal, tapi psikologi saya hancur waktu itu. Saya merasa seperti orang yang cuma bertahan hidup, bukan merasakan hidup. Saya sempat menyalahkan Yang Di Atas, tapi saya gak sanggup karena sungguh sudah banyak hal yang yang saya dapat dari Dia. Akhirnya saya google kondisi psikologi saya dan saya sempat bertahun-tahun berpikir kalau saya punya Social Anxiety Disorder. Sayapun jadi menyalahkan diri sendiri dan beberapa orang di masa lalu, which is semakin memperburuk keadaan. Sejujurnya saya berpikir demikian karena dengan begitu saya jadi punya alasan kenapa saya depresi. Saya juga sempat ke 2 psikolog yang berbeda saking saya udah gak bisa lagi menopang diri saya sendiri.
***
Hikmahnya, dari situ saya banyak merenung tentang kehidupan. Jujur saya memang gak pernah benar-benar memperhatikan kondisi orang-orang di bawah. Saya tersadar bahwa ada banyak orang di bawah sana yang kondisinya jauh di bawah saya.. kurang mampu, gak punya anggota keluarga yang lengkap, gak punya organ tubuh lengkap, gak bisa kuliah, gak punya hidup layak. Kenapa saya gak bersyukur? Seharusnya saya gak pantes merasa depresi, karena ada banyak orang di luar sana yang lebih pantas. Saya jadi tersadar memang bahwa selama ini saya ternyata manja dan egois sekali. Selama itu saya lebih peduli untuk mencapai ambisi dan kesenangan saya saja. Saya juga tersadar bahwa keluarga itu memang harta yang paling mahal karena dukungan moral mereka sangatlah berarti. Walaupun berat, saya berusaha tanamkan bahwa saya harus ikhlas dengan kondisi saya saat ini dan saya harus bangkit walaupun sangat lambat.
***
Setelah sekitar 2 tahun kena depresi, akhirnya keadaan berangsur pulih. Allah (walaupun waktu itu saya bukan orang religius sama sekali) dan keluarga lah yang paling membantu saya untuk bisa mengendalikan diri saya kembali. Selama itu saya banyak membaca buku biografi orang-orang sulit yang bisa bangkit kembali dan saya juga banyak menulis untuk terapi psikologi saya. Saya juga mengalihkan perhatian dengan menyibukkan diri dengan kuliah, nonton konser-konser, dan travelling. Hari-hari saya mulai ada rasanya, tidak hambar total seperti sebelumnya. Tapi harus diakui itu semua tetap gak membuat saya sepenuhnya stabil. Bahagia itu naik-turun. Kalau sedang travelling seneng, tapi setelah itu selesai, saya sebetulnya masih men-judge diri sendiri dan masih mencari jati diri. Masih mencari-cari sesuatu.
***
Menjelang tahun terakhir kuliah, saya sudah mulai semakin rasional. Ada tahun dimana saya tertarik untuk belajar agama-agama. Tahun-tahun penuh kritis yang membuka tabir pertanyaan saya di masa lalu. Di penghujung kuliah, hidayah Islam turun (cerita secara detail nya bisa dilihat disini).
Puzzle itu akhirnya lengkap sudah. :’) Sekarang saya sudah menemukan apa yang saya cari selama bertahun-tahun kemarin. Semua yang saya tanya itu ternyata ada jawabannya dalam Al-Qur’an. Perjalanan panjang memang untuk bisa memercayai Al-Qur’an. Karena dulu saya belum yakin, maka saya tidak melirik Al-Qur’an sama sekali. Saya malah lebih percaya pikiran negatif saya dan tulisan random orang di internet yang belum tentu benar, bisa jadi hanya sesuai dengan yang saya pikirkan saja. Tapi setelah sekarang saya yakin bahwa ada yang menciptakan alam semesta ini, maka Dia pasti punya solusi untuk menjawab semua permasalahan makhluk hidup.
Saya sekarang faham kenapa Allah ‘tega’ memberikan masa-masa sulit kepada manusia seperti depresi. Karena memang itulah satu-satunya cara agar manusia-manusia yang lalai itu sadar bahwa penciptaan mereka itu punya tujuan yang pasti. Allah justru sayang dan peduli dengan kita. Allah tidak membiarkan kita dalam kesenangan semu dunia. Ketika kita punya masalah yang besar, maka disitulah kita kembali kepada pertanyaan fundamental yang selama ini kita abaikan, “Apa tujuan hidup saya?” Maka dari situlah, Allah seakan memberi sinyal kepada manusia untuk kembali kepada tujuan penciptaan mereka yang sesungguhnya, yaitu beribadah kepada-Nya. Hidup yang semata-mata hanya untuk mencari ridho-Nya.
Bayangkan… betapa sempitnya tujuan hidup dan sukses jika untuk mencari ridho manusia. Ada yang mengatakan masuk kampus keren, kerja di tempat bergengsi, kaya raya, dikenal banyak orang, masuk idol agency, punya mobil banyak, atau yang tidak jauh-jauh dari label dan gengsi semata. Padahal, yakinlah, sampai kapanpun kita gak akan bisa memuaskan semua manusia. Ada 7 milyar kepala di dunia ini dan masing-masing punya penilaian sendiri. Maka tidak sedikit orang yang justru mengakhiri hidupnya sendiri ketika sukses menurut versi manusia itu sendiri sudah tercapai. Karena mereka tersadar bahwa sebenarnya manusia itu tidak sepenuhnya peduli dengan diri kita.
Namun, jika tujuan hidup itu agar Yang Di Atas itu senang, maka hidup pun jadi jelas dan gak gampang tergiring opini orang lain. Manusia boleh memberi masukan-masukan, tapi jika itu bertentangan dengan kata-katanya Si Pencipta (yang sudah pasti jauh lebih valid dari perkataan yang diciptakan), maka kita gak usah ambil pusing. Jadi gak perlu masukkan ke hati semua perkataan orang. Bahkan opini kita sendiripun gak perlu dimasukkan ke hati selama bertentangan dengan Allah. Contohnya sebagai orang introvert, saya lebih suka menyendiri, baca buku, dan gak nyenggol-nyenggol masalah orang lain. Tapi kalau menolong sesama itu hal yang disukai Allah, maka saya bakal tetap kerjakan dengan ikhlas walaupun saya lelah masuk ke drama kehidupan orang lain. Dan saya yakin ini gak akan sia-sia karena Allah pasti memperhatikan. Si ekstrovert pun harus suka baca buku dan belajar karena perintah “Iqro! Bacalah!” itu untuk semua manusia. Begitu juga bagi penderita penyakit psikologi seperti Social Anxiety Disorder, Hikikomori, atau OCD. Saya jadi curiga kalau beberapa penamaan istilah penyakit psikologi ini justru membuat si manusianya itu semakin melabeli diri mereka sendiri. Tapi, jika mereka kembali kepada Allah, maka mereka akan menyesuaikan diri dengan kriteria makhluk yang Allah suka, bagaimanapun sifat mereka. Mereka akan keluar dan meninggalkan kebermanfaatan di muka bumi dengan caranya masing-masing.
Ide bahwa dunia adalah persinggahan sementara untuk menanam amal kebaikan di kehidupan berikutnya juga membuat tujuan hidup itu jadi semakin luas. Kebaikan sekecil apapun dan walaupun kita mengerjakannya sendirian, kita yakin bahwa Allah pasti akan membalasnya. Beribadah jadi khusyuk karena dinilai setiap gerakannya, tidur untuk Allah dengan mengucap Bismillah, dan bangun tidur pun untuk Allah dengan mengucap Alhamdulillah. Semuanya bermakna. Dan karena janji Allah itu pasti benar, maka inshaAllah semua kebaikan yang kita lakukan demi Allah di dunia ini, kelak di akhirat akan berwujud sesuatu yang nyata sebagai balasan itu semua. Ketika proses meraih surga itu mendaki dan sangat sukar, nikmati saja, toh hidup ini sejatinya memang ujian. Kalau hidup mulus-mulus, justru itulah yang patut dicurigai dan dipertanyakan. Dan ujian itu punya masa expirednya, paling lama yaitu sampai ajal menjemput yang waktunya bisa kapanpun. Maka tetap fokuslah pada kehidupan setelah kematian. 🙂
***
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 191)
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mu’minun: 115)
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS. Al Qiyamah: 36)
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ’Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi ?Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al Ankabut: 2-3)
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)