Krisis Jati Diri, Anxiety, Depresi, dan Kembali kepada Tujuan Hidup yang Sesungguhnya

7eddeda13860d2530fcaf434c6ffbfa3-061524800_1493708720-medscape

Ada satu fase dalam hidup saya yang saya pikir tadinya akan saya tutup rapat-rapat sampai kapanpun. Fase dimana saya ada di titik terendah dalam hidup saya. Fase dimana saya menghabiskan waktu untuk menangis dan menangis. Dan fase dimana saya mengisolasi diri dari dunia luar dan tenggelam dengan pikiran-pikiran negatif saya.

Sekarang setelah semuanya sudah berlalu, dan saya berada dikondisi yang sangat stabil, saya tersadar bahwa banyak hikmah di balik itu semua. Semoga cerita ini bisa membantu teman-teman yang sedang berada dengan kondisi yang sama seperti saya waktu itu, untuk bangkit dan menemukan apa yang dicari selama ini.

***

Semuanya itu bermula ketika saya sedang berada di tahun terakhir SMA di 2009. Sebelum itu, sejujurnya saya punya kehidupan yang sangat membahagiakan. Alhamdulillah, saya gak pernah ada masalah besar dalam hidup, baik ekonomi maupun keluarga. Hidup saya diwarnai dengan kecintaan saya dengan komik, film, musik, game, seni, main dengan teman-teman dan adik-kakak. Memang dalam perjalanannya ada batu-batu kerikil, tapi itu semua persoalan yang wajar.

Namun di penghujung SMA, saya mulai merasa ada yang mengganjal pikiran saya. Setelah ini, lantas apa lagi yang harus saya lakukan? Setelah ini apa lagi?

Selepas SMA saya ikut berbagai macam ujian masuk universitas negeri. Saya orangnya ambisius dan suka menggapai target-target tertentu. Maka saya pikir, ganjalan pikiran itu harus saya tebus dengan diterimanya saya di kampus negeri yang ternama. Saya belajar mati-matian. Namun, ternyata saya gak keterima di PTN manapun. Waktu itu saya kecewa luar biasa. Ya sudah, akhirnya saya terpaksa masuk PTS karena saya harus sekolah bagaimanapun juga. Tapi, beberapa bulan kuliah di PTS tersebut, pikiran itu muncul lagi: Lantas, apalagi yang harus saya lakukan?

Entah kenapa di dalam bis perjalanan pulang dari kampus, saya seringkali menangis tanpa sebab. Saya merasa sedih dan kosong. Saya terus mencari.. mungkinkah karena lingkungan PTS saya kurang serius menuntut ilmu? Maka, tahun itu, saya berambisi untk pindah ke PTN agar saya punya semangat untuk tetap belajar. Pikir saya, masuk PTN itu sulit sekali, pastinya mahasiswa-mahasiswa yang diterima gak mungkin main-main dan pasti serius belajar di sana, maka saya yang mulai kehilangan semangat hidup, juga pengen kecipratan semangat mereka. Alhamdulillah, SNMPTN berikutnya, saya diterima di PTN luar kota.

Namun, gak disangka hari pertama di kota tersebut adalah hari terburuk saya. Saya bingung apa yang saya cari di kota asing ini? Apalagi diperburuk dengan tinggal sendiri di kosan. Maka pikiran saya akhirnya mengakar kesana kemari. Kenapa saya pindah dari PTS? Bukannya banyak biaya keluar? Bisa punya temen gak ya di sini? Setelah lulus kuliah lalu apa lagi?  Lulus untuk apa? So on.. and so on.. Entahlah, sejak kuliah hidup jadi menawarkan banyak pilihan, pikir saya waktu itu.

Mulai dari situlah saya merasa sedih, minder, lelah, dan hampa luar biasa :”””( Hidup segan mati tak mau. Saya merasakan depresi. Saya bingung total, sebenarnya apa sih yang saya cari? Bertahun-tahun frustasi dan kebingungan membuat saya berada di titik nadir kehidupan. Saya akhirnya jadi sensitif dan takut kalau berinteraksi dengan orang lain. Saya habiskan beberapa tahun pertama kuliah dengan mikir, mikir, nangis sepanjang hari, kuliah, sholat, nangis. Hampir setiap hari saya merindukan kebahagiaan saya di masa lalu. Bahkan saya bingung saya ini kayak gimana ya orangnya? Sampai-sampai saya google “bagaimana mencari jati diri”. Saya lupa bagaimana diri saya sebelum ini semua terjadi. Setiap bangun tidur saya diliputi ketakutan luar biasa, dan sebelum tidur saya menangis karena kepikiran semua ucapan orang yang masuk ke telinga dan pikiran-pikiran negatif saya. Ada jutaan opini manusia yang masuk dan saya bingung harus menempatkan diri di yang mana. Sungguh melelahkan. Secara fisik normal, tapi psikologi saya hancur waktu itu. Saya merasa seperti orang yang cuma bertahan hidup, bukan merasakan hidup. Saya sempat menyalahkan Yang Di Atas, tapi saya gak sanggup karena sungguh sudah banyak hal yang yang saya dapat dari Dia. Akhirnya saya google kondisi psikologi saya dan saya sempat bertahun-tahun berpikir kalau saya punya Social Anxiety Disorder. Sayapun jadi menyalahkan diri sendiri dan beberapa orang di masa lalu, which is semakin memperburuk keadaan. Sejujurnya saya berpikir demikian karena dengan begitu saya jadi punya alasan kenapa saya depresi. Saya juga sempat ke 2 psikolog yang berbeda saking saya udah gak bisa lagi menopang diri saya sendiri.

***

Hikmahnya, dari situ saya banyak merenung tentang kehidupan. Jujur saya memang gak pernah benar-benar memperhatikan kondisi orang-orang di bawah. Saya tersadar bahwa ada banyak orang di bawah sana yang kondisinya jauh di bawah saya.. kurang mampu, gak punya anggota keluarga yang lengkap, gak punya organ tubuh lengkap, gak bisa kuliah, gak punya hidup layak. Kenapa saya gak bersyukur? Seharusnya saya gak pantes merasa depresi, karena ada banyak orang di luar sana yang lebih pantas. Saya jadi tersadar memang bahwa selama ini saya ternyata manja dan egois sekali. Selama itu saya lebih peduli untuk mencapai ambisi dan kesenangan saya saja. Saya juga tersadar bahwa keluarga itu memang harta yang paling mahal karena dukungan moral mereka sangatlah berarti. Walaupun berat, saya berusaha tanamkan bahwa saya harus ikhlas dengan kondisi saya saat ini dan saya harus bangkit walaupun sangat lambat.

***

Setelah sekitar 2 tahun kena depresi, akhirnya keadaan berangsur pulih. Allah (walaupun waktu itu saya bukan orang religius sama sekali) dan keluarga lah yang paling membantu saya untuk bisa mengendalikan diri saya kembali. Selama itu saya banyak membaca buku biografi orang-orang sulit yang bisa bangkit kembali dan saya juga banyak menulis untuk terapi psikologi saya. Saya juga mengalihkan perhatian dengan menyibukkan diri dengan kuliah, nonton konser-konser, dan travelling. Hari-hari saya mulai ada rasanya, tidak hambar total seperti sebelumnya. Tapi harus diakui itu semua tetap gak membuat saya sepenuhnya stabil. Bahagia itu naik-turun. Kalau sedang travelling seneng, tapi setelah itu selesai, saya sebetulnya masih men-judge diri sendiri dan masih mencari jati diri. Masih mencari-cari sesuatu.

***

Menjelang tahun terakhir kuliah, saya sudah mulai semakin rasional. Ada tahun dimana saya tertarik untuk belajar agama-agama. Tahun-tahun penuh kritis yang membuka tabir pertanyaan saya di masa lalu. Di penghujung kuliah, hidayah Islam turun (cerita secara detail nya bisa dilihat disini).

Puzzle itu akhirnya lengkap sudah. :’) Sekarang saya sudah menemukan apa yang saya cari selama bertahun-tahun kemarin. Semua yang saya tanya itu ternyata ada jawabannya dalam Al-Qur’an. Perjalanan panjang memang untuk bisa memercayai Al-Qur’an. Karena dulu saya belum yakin, maka saya tidak melirik Al-Qur’an sama sekali. Saya malah lebih percaya pikiran negatif saya dan tulisan random orang di internet yang belum tentu benar, bisa jadi hanya sesuai dengan yang saya pikirkan saja. Tapi setelah sekarang saya yakin bahwa ada yang menciptakan alam semesta ini, maka Dia pasti punya solusi untuk menjawab semua permasalahan makhluk hidup.

Saya sekarang faham kenapa Allah ‘tega’ memberikan masa-masa sulit kepada manusia seperti depresi. Karena memang itulah satu-satunya cara agar manusia-manusia yang lalai itu sadar bahwa penciptaan mereka itu punya tujuan yang pasti. Allah justru sayang dan peduli dengan kita. Allah tidak membiarkan kita dalam kesenangan semu dunia. Ketika kita punya masalah yang besar, maka disitulah kita kembali kepada pertanyaan fundamental yang selama ini kita abaikan, “Apa tujuan hidup saya?” Maka dari situlah, Allah seakan memberi sinyal kepada manusia untuk kembali kepada tujuan penciptaan mereka yang sesungguhnya, yaitu beribadah kepada-Nya. Hidup yang semata-mata hanya untuk mencari ridho-Nya.

Bayangkan… betapa sempitnya tujuan hidup dan sukses jika untuk mencari ridho manusia. Ada yang mengatakan masuk kampus keren, kerja di tempat bergengsi, kaya raya, dikenal banyak orang, masuk idol agency, punya mobil banyak, atau yang tidak jauh-jauh dari label dan gengsi semata. Padahal, yakinlah, sampai kapanpun kita gak akan bisa memuaskan semua manusia. Ada 7 milyar kepala di dunia ini dan masing-masing punya penilaian sendiri. Maka tidak sedikit orang yang justru mengakhiri hidupnya sendiri ketika sukses menurut versi manusia itu sendiri sudah tercapai. Karena mereka tersadar bahwa sebenarnya manusia itu tidak sepenuhnya peduli dengan diri kita.

Namun, jika tujuan hidup itu agar Yang Di Atas itu senang, maka hidup pun jadi jelas dan gak gampang tergiring opini orang lain. Manusia boleh memberi masukan-masukan, tapi jika itu bertentangan dengan kata-katanya Si Pencipta (yang sudah pasti jauh lebih valid dari perkataan yang diciptakan), maka kita gak usah ambil pusing. Jadi gak perlu masukkan ke hati semua perkataan orang. Bahkan opini kita sendiripun gak perlu dimasukkan ke hati selama bertentangan dengan Allah. Contohnya sebagai orang introvert, saya lebih suka menyendiri, baca buku, dan gak nyenggol-nyenggol masalah orang lain. Tapi kalau menolong sesama itu hal yang disukai Allah, maka saya bakal tetap kerjakan dengan ikhlas walaupun saya lelah masuk ke drama kehidupan orang lain. Dan saya yakin ini gak akan sia-sia karena Allah pasti memperhatikan. Si ekstrovert pun harus suka baca buku dan belajar karena perintah “Iqro! Bacalah!” itu untuk semua manusia. Begitu juga bagi penderita penyakit psikologi seperti Social Anxiety Disorder, Hikikomori, atau OCD. Saya jadi curiga kalau beberapa penamaan istilah penyakit psikologi ini justru membuat si manusianya itu semakin melabeli diri mereka sendiri. Tapi, jika mereka kembali kepada Allah, maka mereka akan menyesuaikan diri dengan kriteria makhluk yang Allah suka, bagaimanapun sifat mereka. Mereka akan keluar dan meninggalkan kebermanfaatan di muka bumi dengan caranya masing-masing.

Ide bahwa dunia adalah persinggahan sementara untuk menanam amal kebaikan di kehidupan berikutnya juga membuat tujuan hidup itu jadi semakin luas. Kebaikan sekecil apapun dan walaupun kita mengerjakannya sendirian, kita yakin bahwa Allah pasti akan membalasnya. Beribadah jadi khusyuk karena dinilai setiap gerakannya, tidur untuk Allah dengan mengucap Bismillah, dan bangun tidur pun untuk Allah dengan mengucap Alhamdulillah. Semuanya bermakna. Dan karena janji Allah itu pasti benar, maka inshaAllah semua kebaikan yang kita lakukan demi Allah di dunia ini, kelak di akhirat akan berwujud sesuatu yang nyata sebagai balasan itu semua. Ketika proses meraih surga itu mendaki dan sangat sukar, nikmati saja, toh hidup ini sejatinya memang ujian. Kalau hidup mulus-mulus, justru itulah yang patut dicurigai dan dipertanyakan. Dan ujian itu punya masa expirednya, paling lama yaitu sampai ajal menjemput yang waktunya bisa kapanpun. Maka tetap fokuslah pada kehidupan setelah kematian. 🙂

***

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 191)

Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mu’minun: 115)

Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS. Al Qiyamah: 36)

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ’Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi ?Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al Ankabut: 2-3)

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)


Islam, “Patah Hati”, dan Move On

Holy koran

Selama rentang waktu pembelajaran agama Islam dari tahun 2014 sampai saat ini, entah berapa kali aku dibuat shocked dan “patah hati’.

Patah hati pertama dimulai ketika aku baru mengetahui bahwa hidup ini sejatinya hanya untuk beribadah kepada Allah SWT. Bukan untuk hal-hal lain yang gak berfaedah. Sebelum hidayah turun, saat itu mungkin aku sama seperti orang pada umumnya, aku cinta dengan dunia dan kebebasan hidup. Aku suka pakai kaos dan jeans, menghabiskan waktu dan uang untuk hal sepele, mudah terkagum-kagum dengan merek, benda, tokoh, pernak-pernik dunia, pengen bisa ini-itu, dan beli ini-itu.

Ternyata, itu semua salah. Manusia gak pernah bebas dari kandungan ibu sampai akhir hayatnya di dunia. Gimana bisa bebas kalau sejatinya memang gak ada yang benar-benar kita miliki di dunia ini?  Ada syarat-syarat yang wajib dilaksanakan manusia dari Pencipta Manusia. Mulai dari berpakaian, makanan, sampai bernegara. Kita cuma penumpang di buminya Allah.

Dan lebih sedihnya lagi, dunia ini ternyata cuma kesenangan yang menipu dan tidak lebih baik dari mayat kambing yang cacat menurut hadits.

“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanya permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan dari ALLAH serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Q.S. Al Hadid 57 : 20)

Seketika saat itu tersadarlah aku bahwa semua yang aku kejar ini gak akan ada habisnya :(. Akan selalu ada tren berpakaian yang baru, brand baru, gadget, film dan musik yang baru. Aku mendekat ke dunia, tapi si dunianya malah makin menjauh. Semacam bertepuk sebelah tangan dengan dunia. So, waktu itu aku bertekad harus aku tinggalkan pelan-pelan kebiasaan yang dulu. Awalnya berat. Tapi alhamdulillah, sekarang setelah mencoba untuk mengurangi kesukaan ke banyak hal dan menyederhanakan keinginan duniawi, hidup jadi jauh lebih tenang. Kalau dulu patokan untuk bisa bahagia itu banyak banget, sekarang senang itu bisa sesederhana mengingat kalau aku punya iman Islam.

Patah hati kedua adalah ketika aku tahu bahwa film dan musik, dua dunia yang sangat aku cintai itu, adalah salah satu tools Iblis untuk melalaikan manusia dari kewajibannya untuk mengingat Allah SWT. Dulu, waktu bisa aku habiskan berjam-jam untuk pindah dari satu film ke film yang lain dan mendengarkan banyak lagu. Tapi ketiku aku faham ilmu mengenai illuminati dalam pop culture, ditambah ayat Qur’an yang mengatakan bahwa Iblis pasti akan menyesatkan manusia (kecuali mereka yang beriman), aku berasa kayak di tampar.

Jadi sadar lirik-lirik lagu yang gak make sense dan vulgar walaupun dibalut melodi seindah apapun…

Jadi sadar film-film imajinatif yang menguras otak tapi berpotensi untuk membuat pikiran halu terbang melayang gak menapak ke realita…

Jadi sadar ada banyak public figure yang sebetulnya jauh sekali dari label panutan. Ada banyak manusia-manusia di luar sana yang lebih pantas untuk jadi teladan tanpa harus selalu punya appearance yang sedap dipandang mata atau lisan yang indah.
Jujur, sedih banget waktu tau kenyataan dibalik hal itu. Ibarat kata, kita menyukai seseorang atau sesuatu yang membuat kita bahagia, eh tapi ternyata selama ini dia harmful bagi kita.

“Iblis menjawab : “Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.” Allah berfirman: ” Maka yang benar (adalah sumpah-Ku) dan hanya kebenaran itulah yang Aku katakan. Sesungguhnya Aku pasti akan memenuhi neraka Jahannam dengan jenismu dan orang-orang yang mengikutimu di antara mereka semua.” (Q.S. Shad : 82-85)

Patah hati ketiga, which is yang lumayan dahsyat adalah ketika aku tau bahwa musik gak punya tempat dalam Islam. Anyway, mengenai halal-haramnya musik masih jadi perdebatan di kalangan ulama (CMIIMW), tapi para ulama tetap menganjurkan untuk menjauh dari musik karena pengaruh buruk dari lirik-lirik musik jaman sekarang. (Updated 2020: Musik mutlak haram hukumnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ”Sungguh akan ada sebagian dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras, dan alat-alat musik.” HR. Bukhari, no. 5590. Klik ini untuk lengkapnya).

Nah, yang paling bikin sakit hati adalah waktu denger ceramahnya Khalid Basalamah ketika beliau bilang bahwa musik dan Al-Qur’an selamanya gak mungkin bersatu. Padahal keinginan belajar Al-Qur’an saat itu sudah mulai tumbuh, sedangkan musik adalah ‘oksigen’ku.
Sesuatu yang kucintai dibilang gak mungkin menyatu sama Al-Qur’an, disuruh harus tinggalkan seutuhnya, padahal bertahun-tahun musik udah ngelotok di hati dan otak. Memangnya semudah itu meninggalkannya? Sakit hati? Iya banget. Tapi sayangnya perkataan beliau juga bener banget. Toh, memang faktanya selama ini aku jauh lebih hafal lagu-lagu dibanding Al-Qur’an. Belum lagi perasaan fluktuatif, terhipnotis, gak menentu yang dihasilkan melodi dan lirik lagu, sedangkan Al-Quran itu justru membawa kita ke kesadaran tertinggi karena mengingat Allah, alam semesta, dan ciptaan-ciptaan-Nya.

Ya udah mau diapain lagi. Move on. Alhamdulillah setelah mendekatkan diri ke ilmu agama dan Al-Qur’an, sekarang aku jadi bisa gak tergantung dengan musik dan bisa lebih jadi a present human being.

Patah hati keempat, ketika aku tau Allah mengazab orang yang menggambar makhluk bernyawa. Aku sudah menggambar sejak umur 9 tahun. Dan dari semua gambar, aku paaaaling suka gambar manusia. Detil. Dengan matanya yang berkilau, guratan rambutnya, lipatan di bajunya, gesturenya yang beragam, dll. Tapi ya udah, kalau memang dilarang gambar manusia mau gimana lagi? Toh tangan ini juga dari Allah. Alhamdulillah sekarang Allah arahkan aku untuk belajar desain grafis sehingga minat aku terhadap seni rupa masih bisa dilanjutkan namun dialihkan ke gambar benda-benda mati.

Patah hati kelima, ketika aku tau bahwa ulama favoritku dari Amerika beraliran sufi. Setelah aku mencari penjelasan mengenai sufi dari banyak ustadz yang insha Allah setia berpegangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, mereka dengan tegas mengatakan bahwa sufi adalah aliran sesat.

Sebelumnya, aku sukaaa sekali dengar ceramahnya. Biasanya sebelum tidur aku denger beliau dulu dan entah kenapa kayak ada magnet yang membuat lisannya begitu merasuk ke kalbu dan menenangkan. Mungkin Allah melihat aku semacam menjadi terlalu mengidolakan ulama ini sehingga tiba-tiba muncullah video mengenai keIslamannya yang sesungguhnya di recommendation video Youtube. Maybe. Wallahu’alam.

Yang pasti berhubung aku adalah pengemis ilmu agama yang hidup di era akhir zaman yang penuh dengan fitnah ini, maka terpaksa aku harus move on atau go back ke ustadz lurus lainnya. Semoga hidayah Allah SWT sampai kepada beliau. Amin Allahuma Amin.

——————————-

Anyway, seharusnya kita siap dibuat patah hati kalau memang ternyata hal yang kita yakini benar itu ternyata salah selama ini. Apalagi jika revisi yang kita terima membawa kita kepada kebaikan dan kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Kembali kepada ke kemurnian Qur’an dan Sunnah. Kembali kepada KEBENARAN yang sesungguhnya.

Intinya banyak yang dibuat sakit hati dulu ketika sebelum hijrah, tapi banyak juga yang memilih menerima, move on, dan kembali ke jalan-Nya yang lurus.

Terimalah kebenaran walau pahit.

Apa yang Berubah Setelah Hidayah Itu Datang?: Musik, Film, dan Hijrah menuju Islam

AAEAAQAAAAAAAAz1AAAAJGNlMTE0NDkyLTU2MmQtNGI5ZC04Y2JmLTg1MGIzMTJiMDFmYw

Hidayah itu menyapa di malam bulan Oktober 2014 setelah aku baca-baca dan mempelajari banyak hal mengenai agama-agama besar, iluminati, sejarah dunia, dunia jin, dan ragam ilmu yang belum pernah kuraba sebelumnya lewat internet dan buku. Sejak saat itu aku memandang dunia lain 180 derajat. Semacam kayak ada yang nyopot Oculus VR di depan mataku. Dan sekarang aku melihat hal dengan mata sesungguhnya. Rasanya waktu itu juga kayak ada yang guyur kepalaku pake air seember. Mata jadi bisa membedakan mana yang salah dan benar, selimut hati terbuka melihat esensi dunia dan akhirat, air mata bercucuran keluar mengingat kobodohan dan kesalahan di masa lalu, dan lega karena misi & visi hidup terbentuk dengan sangat jelas. Yah, pokoknya banyak deh analogi yang menggambarkan betapa fenomenalnya perasaan dapet hidayah dari Allah SWT itu.

  1.   Manusia itu Ternyata Diciptakan untuk Ibadah kepada Allah

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (Surah Adz-Dzaariyaat ayat 56)

Manusia bilang hidup itu untuk kesini-kesitu, untuk ini-itu, dan untuk jadi ini dan itu. Manusia punya banyak opini pribadi tentang kenapa mereka ada di dunia ini. Padahal mereka gak menciptakan dirinya sendiri. Ternyata, Pencipta Manusia itu sendiri sudah menetapkan standar bahwa hidupnya manusia itu cuma untuk beribadah kepada Allah SWT. Dan bentuk ibadah ternyata bukan cuma shalat, ngaji, dan puasa. Ada buanyaaak banget koin-koin pahala yang bertebaran di sekitar kita. Nemenin orang tua makan malam ya ibadah jika demi ridho Allah. Menuntut ilmu itu ibadah jika demi mendekatkan diri ke Allah. Menyingkirkan duri di jalan itu ibadah. Minum dengan mengucap bismillah atau menyapa orang dengan ‘Assalamualikum’ itu ibadah. Bahkan menikah dan kerja itu termasuk ibadah. Ternyata setiap kegiatan itu bisa jadi ibadah jika niatnya demi ridho Allah.

  1.   Leave the Years of Ignorance

Aku pikir hidupku udah fine-fine aja. Hidup baik-baik asal masih sholat, ngaji, dan puasa, mati katanya masuk surga asalkan udah syahadat. Anyway, ternyata gak semudah itu. Peradilan dunia aja bisa sangat rumit untuk menentukan seseorang masuk penjara atau gak. Di peradilan akhirat nanti, perhitungannya sangat sangat detail untuk memasukkan manusia ke surga atau neraka. Kalau kita shalat, nanti dihitung manakah shalat-shalat kita yang terhitung sah, yang gerakannnya betul, bacaanya betul, dan ikhlas saat mengerjakannya. Belum lagi yang lebih mengerikan adalah ketika anggota tubuh ini bersaksi, ngapain aja mereka selama dunia (bayangin berapa kali mata dan telinga ini menerima informasi yang buruk, atau mulut ini keceplosan ngomongin seseorang). Dan yang paling mengerikan adalah hal sepele yang kita pikir gak punya efek apapun ternyata bisa jadi hal yang memberatkan timbangan keburukan kita di peradilan nanti. Misalkan ada tulisan kita di sosial media yang bisa jadi menyesatkan banyak orang. Dan berkelanjutan menjadi dosa jariyah. Naudzubillah mindzalik…

Dulu pun waktu bisa habis berjam-jam untuk nonton drama Korea atau film-film bagus di laptop, baca komik atau novel-novel fiksi, begadang untuk nonton video-video hiburan atau konyol di Youtube. Gak pernah berpikir kritis kalau mata dan telinga ini diciptakan untuk sesuatu yang lebih dari hal-hal sepele ini.

Sekarang, menghabiskan waktu untuk hiburan aja jadi perkara sulit. Ada nilai ibadahnya gak?

  1.   Kematian Bukan Sesuatu yang Harusnya Dihindari, tapi Seharusnya Dibicarakan

Kalau sebelumnya topik tentang kematian dan akhirat selalu dihindari karena menakutkan. Sekarang obrolan tentang mati, akhirat, neraka, dan surga itu jadi sesuatu yang dicari-dicari. Upaya diri untuk mempersiapkan dan membekali diri untuk kematian jadi semakin nyata.

  1.  Hidup Terikat Aturan Allah

Kupikir di luar sekolah, kantor, lembaga, organisasi, atau apapun itu, manusia bisa bebas. Kalaupun pemerintah di luar sana tetep bisa mengikat kita untuk pake helm waktu naik motor atau berhenti pas lampu merah, selebihnya manusia bisa bebas kalau dia berhubungan dengan individunya sendiri. Manusia memiliki dirinya sendiri. Well, ternyata gak. Dimanapun, kapanpun, atau bersama siapapun si manusia, kita akan terus terikat sampai akhir hayat dengan Pemilik Sejati Kita, yaitu Allah.

Dulu aku bisa pakai kaos dan jeans keluar rumah, makan sushi tanpa mempertanyakan halal-haramnya, bercanda seenaknya, dll. Sekarang, takut kalau ada hal-hal yang ternyata melanggar aturan Pemilik Alam Semesta ini. Dalil pun sekarang jadi dicari-dicari untuk meluruskan beberapa kegiatan dalam kehidupan sehari-hari yang mungkin selama ini salah. Misalkan hal sepele kayak adab minum air putih yang sunnahnya pakai tangan kanan dan sambil duduk.

  1.   Terikat Kontrak untuk Belajar Seumur Hidup

Iman dan ilmu adalah dua hal yang harus saling menunjang. Iman ini ada dalam hati.  Hati ini punya kecenderungan untuk mengarah kemanapun tergantung kita menempatkan diri di lingkungan apa. Waktu aku memutuskan untuk berjilbab dan merubah gaya hidup, salah satu temen pernah ada yang bilang, “Pasti nanti ada saatnya lo pengen buka jilbab deh.” Sebenarnya hal itu udah aku antisipasikan di masa depan. Bukan hanya itu aja, pasti nanti ada saat juga dimana aku merasa bahwa jalan hidup ini terasa berat dan ingin rasanya kembali ke gaya hidup yang dulu. Tapi aku kan ‘terlanjur’ faham ilmunya. Setelah semua yang dibaca dan hidayah yang datang ini… kan gak mungkin aku pura-pura gak tau dan kembali ke kondisi dimana ilmu itu belum datang. Makanya setelah iman itu ada, mau gak mau harus naik kelas. Tuntutan untuk mencari ilmu itu malah semakin besar. Mempelajari kehidupan setelah kematian, memperbaiki ibadah, mempelajari buku-buku agama, Al-Qur’an, Hadist, dan penunjang ilmu Islam lainnya supaya iman ini terus terjaga. Sehingga ketika hawa nafsu dan setan mulai membisiki diri, setidaknya harapanku ilmu ini bisa menjadi tameng terhadap hal-hal tersebut.

  1.   Menjadikan Allah Sutradara dalam Setiap Kejadian


” dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia megnetahuinya (pula)…. ” (Surat Al-An’aam ayat 59)

Dulu gampang aja menyalahkan diri sendiri atau orang lain tatkala ada musibah yang datang. Atau terlalu bangga dengan diri sendiri atas pencapaian tertentu. Sekarang jadi berpikir bahwa itu semua terjadi simply karena izin Allah. Dan dari setiap kejadian itu pasti ada hikmahnya.

  1. Gampang Merenung & Tersentuh

Setiap hari berjalan di bawah naungan matahari, bulan, bintang, gak pernah berpikir bahwa benda-benda langit itu dikhususkan untuk makhluk hidup di bawahnya, terutama manusia. Penciptaan benda langit itu bukan untuk main-main; luar biasa raksasa dan butuh science tingkat tinggi supaya mereka gak saling bertabrakan. Lantas mungkinkah manusia dibiarkan begitu aja? Live like a river atau YOLO like they said? Gak mungkin. Dipikir-pikir, kalau Kemenkeu aja mau kasih gaji tinggi dan berbagai tunjangan serta fasilitas ke karyawannya dengan catatan siap lembur, dimutasi, dan berkutat ke pekerjaan. Apalagi yang ngasih kita oksigen sama sinar matahari? Pasti ada bentuk timbal balik yang harus kita lakukan kalau kita mau merenung dan mencari.

Lihat pemandangan alam yang indah, sekarang jadi lebih sering berpikir ke Penciptanya. Denger ceramah di mesjid, jadi meresapi baik-baik dan gampang tersentuh. Hal-hal yang biasa lewat begitu saja di sekelilingku jadi bermakna lebih. Dan jadi mikir, “Kemana aja aku selama ini?”

  1.  Hal-hal Gaib jadi Terasa Nyata

Dulu aku gak faham kenapa orang bisa tahan duduk berjam-jam untuk i’tikaf. Malam 1000 bulan itu kayak gimana sih? Sekarang aku baru sadar betapa luar biasanya pahala di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Hati ini jadi mudah jatuh kepada ayat-ayat Alqur’an, Hadist, dan kisah-kisah yang mengingatkan ke Allah. Aku juga yakin bahwa jin itu memang ada di sekeliling kita dan godaan mereka itu nyata, senyata bujuk rayuan dari sesama manusia. Shalat pun sekarang berusaha untuk lebih khusyuk karena sadar ada Allah dan malaikat yang memperhatikan.

  1.    Goodbye Music!

Aku shocked dan patah hati sangat waktu tahu kalau ada dalil yang bilang kalau musik itu haram. Waktu itu aku lihat banyak ceramah untuk pembelaan supaya aku masih bisa tetep denger dan main musik. Ternyata, perkara haram-halal musik ini masih diperdebatkan di kalangan ulama, tapi mayoritas dari mereka sangat menganjurkan untuk tetep stay away dari musik karena banyaknya pengaruh buruk dari lirik-lirik musik jaman sekarang (Updated 2020: Musik mutlak haram hukumnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ”Sungguh akan ada sebagian dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras, dan alat-alat musik.” HR. Bukhari, no. 5590. Klik ini untuk lengkapnya). Dan yang paling berbahaya adalah, musik dan Al-Qur’an ternyata gak bisa menyatu. Gak mungkin orang yang sehari-harinya dengerin lagu, berharap bisa hafal Al-Qur’an atau minimal menaruh Al-Qur’an dalam hatinya. Aku sendiri ngerasa dengan nyata kontradiksi itu sih.

So, musik yang tadinya kayak oksigen, akhirnya terpaksa aku kurangi habis-habisan. No music before and after sleep, no music when travelling, no music when browsing, dan bahkan no music kalau lagi idle time. Gitar dan piano pun udah lama gak aku sentuh, padahal dulu tiap malam bisa ngulik sampai berjam-jam. Aku segera ikut kursus bahasa Arab supaya lebih faham Al-Qur’an dan bisa segera mereplace musik di dalam hati. Alhamdulilah, sekarang jadi bisa gak tergantung dengan musik (terutama thanks to the music dan music video jaman now yang semakin merendahkan martabatnya sehingga aku bisa memisahkan diri). Sedikit perkara itu datang ketika beberapa memori musik di masa lalu muncul dan ada usaha untuk mengkudeta kecendurangan hati yang sekarang. Agak sulit sih memang keluar seutuhnya dari yang namanya musik ini, but I’ll keep struggling. Bukankah  hidup adalah melempar jumroh? Setidaknya sekarang rasa kecintaan terhadap musik itu sudah jauh berkurang.

  1.   Keluar dari Dunia Imaji Film dan Menapak ke Bumi

Aku itu movie & fictional-stories-in-any-medium geek. Aku udah nonton hampir seribu film in total. Apalagi aku tuh paling suka film twist yang membuat pikiran kita tenggelam di berbagai interpretasi mengenai ending atau cerita keseluruhan.

Setelah baca-baca mengenai siapa-siapa orang ‘sebenarnya’ yg bekerja dibalik dunia perfilman dan efek psikologis dari film-film (iya illuminati stuffs gitu lah), aku langsung melihat lain dunia perfilman. Dulu aku bisa nonton belasan film dalam sebulan baik di bioskop, laptop, atau TV. Sekarang dalam setahun aku bisa cuma nonton sekitar 6 film aja. Berat sekali sekarang rasanya untuk menerjunkan diri ke lubang halusinasi barang 2 jam aja.

Aku jadi berpikir kalau aku selama ini bereaksi berlebihan ke film. Aku mikir kenapa aku harus nakut-nakutin diri sendiri sih dengan film horor? Kenapa mudah banget simpati dengan matinya Dumbledore ketika manusia-manusia nyata di Rohingnya sana mati? Kenapa bisa sangat tergugah dengan sosok Katniss, padahal banyak sosok perempuan seperti itu di Palestina sana? Kenapa menyuapi diri dengan angan-angan kosong lewat drama Korea? Kenapa mau-maunya terikat oleh berepisode-episode serial TV Barat? Berapa banyak waktu habis buat itu? Toh, ada manfaat juga sedikit. Bikin ngayal iya.

Yah pokoknya pikiran-pikiran yang kalo kata anak film ‘gak asik’ deh (dulu aku paling kesel diginiin sama orang yang gak faham dunia film. Eh sekarang ngerti juga hahah).

Intinya, itulah dunia entertainment. Membuat orang jadi asik dengan dunianya sendiri dan membuat orang lalai dengan banyak hal, terutama kewajibannya mempertanyakan tujuan hidup di dunia ini. Makanya dengan sekarang aku gak mau tenggelam terlalu dalam di hal-hal fiksi, aku jadi bisa melihat dan bersimpati ke hal-hal nyata di sekelilingku. Waktu pun bisa dialokasikan untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat.

  1.   We Become What We See & Listen

Masih nyambung sama poin 10, mayoritas orang-orang idola aku tuh tadinya berasal dari sutradara, penulis film, musisi, mangaka, pemain film, seniman, pokoknya mereka yang berjasa dalam meng-‘halu’-kan massa. They used to be my heroes. Aku tadinya cuma bisa menilai sisi seni dari ‘produk’ mereka tanpa bisa melihat bahwa itu menyalahi norma atau etika. Contohnya, film-film Tarantino atau David Fincher dulu bisa kupuji abis-abisan, tanpa peduli bahwa konten filmnya vulgar dan sadis. Bisa jadi tanpa kusadari, mematikan sedikit demi sedikit rasa simpatiku ketika mengkonsumsi film-film sejenis. Aku pun dulu rela ngantri 10 jam demi konser Lady Gaga dan pelarangan Lady Gaga kesini menurutku super berlebihan. Aku dulu gak bisa lihat dimana korelasi konser Lady Gaga dan moral anak bangsa. Padahal cukup punya logika aja untuk bisa menilai betapa vulgarnya pakaian dia dan betapa buruknya lirik-lirik lagu yang dia bawakan. Dan pengaruh itu bekerja ke dalam psikologi seseorang secara step by step, bukan 1-2 lagu atau film langsung berpengaruh.

Anyway, bukan berarti semua yang ada di pekerjaan ini buruk ya. Banyak juga yang menebarkan kebaikan dan kebenaran. Tapi tetap banyak dari mereka yang menyodorkan quotes dan pemikiran baru -lewat buku, film, musik- tanpa dasar ilmu yang jelas. Filter diri pun agak sulit dipakai di era akhir zaman ini, dimana banyak yang baik dan buruk bercampur baur tanpa ada standar.

Menurutku lebih aman dan lebih baik kalau kita lebih banyak mendengar dan melihat mereka yang bicara realita dengan rujukan yang jelas dan logic. Apalagi mereka yang punya ilmu dalam koridor Al-Qur’an dan Hadist. Karena selain rantai sumber ilmunya jelas dan valid, tentu aja banyak hal-hal bermanfaat yang bisa merubah diri ke arah yang lebih positif.

  1.   Brand New Life

Hidup jadi terarah, sehat, jelas muaranya. Ibadah shalat, ngaji, puasa diperbaiki. Hidup jadi gak egoisMe dan sekarang jadi semangat untuk menyongsong kebaikan-kebaikan di sektiar.

Kalau hidup mulai merasa ada yang salah, tinggal kembali ke Al-Qur’an atau cari solusi dari kehidupan Nabi Muhammad SAW, para nabi Allah, para sahabat, dan tabi’in, lewat buku-buku dan ceramah para ulama.

Experience started by 2015

Hijrah: Mengejar Hidayah Allah

Placeholder Image

Sejak kecil, saya suka sekali bertanya-tanya tentang berbagai hal kritis yang menarik. Terutama terkait hal-hal gaib yang dulu sering diceritakan oleh bapak saya. Mulai dari apakah tujuan hidup saya, kemana saya kalau mati, apakah keberadaan neraka & surga itu ada, apakah azab neraka itu sama seperti di komik yang saya baca waktu di TPA… (yess, that graphic book), apakah kisah Nabi-Nabi itu asli, and so on and on… Jadilah imajinasi-imajinasi liar terkait hal itu sering randomly muncul kembali di malam hari. Saya selalu pengen tau. Pengen juga rasanya melakukan sesuatu untuk mengantisipasi datangnya kematian atau hari akhir, tapi saya sendiri gak tau harus apa. Kalau teringat hal itu (terkadang di malam hari sebelum tidur), biasanya saya jadi ketakutan sendiri. Tapi ujung-ujungnya saya tepis jauh-jauh pikiran itu dan berusaha untuk tidur aja.

Sudah tau takut begitu, saya sholatnya sering bolong-bolong (he, iya tau salah). Sampai kuliah awal pun, saya khusyuk ibadah cuma saat ada masalah atau memasuki bulan Ramadhan. Itupun cuma baca hafalan surat (dengan buru-buru) tanpa tau maknanya. Tapi itu tadi kan, bagaimana melakukan sesuatu dengan ikhlas jika saya sendiri gak punya landasan yang kuat untuk melakukannya?

Beranjak remaja, pikiran tentang hal itu masih ada. Namun, dunia begitu menyenangkan dan menarik. Saat itu saya mulai berkenalan dengan dunia musik, komik, dan film. Pop culture pada umumnya laah. Kecintaan saya terhadap dunia itu membuat saya obsesif dan gak pengen cuma jadi penikmat aja. Pokoknya saya curahkan sepenuhnya. Banyak waktu yang saya habiskan supaya bisa jadi mangaka sejago Eichiiro Oda. Banyak malam yang hilang supaya saya bisa jadi pianis dan gitaris handal kayak Joe Hisaishi dan Eross Chandra. Banyak juga tontonan dan bacaan fiksi yang saya lahap untuk kemudian saya jadikan panutan hidup, mimpi, dan idola.

Intinya dunia saya penuh distraktif deh. Dan itu yang nyata dan penting bagi saya. Toh mayoritas anak muda juga mengganggap dunia itu sebagai hal yang penting juga. Jadi gak ada yang salah kan (selama gak zina, merokok, narkoba). Saya waktu itu masih gak paham tentang Ketuhanan, hidup, mati, dunia Islam. Gak kebayang samsek deh bagi saya mindset orang-orang berbaju super tertutup (syar’i), dan cuma melakukan hal penting ini. Walaupun jauh di lubuk hati saya tau, hidup mereka pasti tenang, tapi saya kira mereka itu kaku dan kurang informasi. “Dunia yang saya sukai ini populer dan keren banget. Semua orang heboh bicara Piala Oscar, konser Bruno Mars semalam, trailer Marvel yang baru, lagu Taylor Swift yang baru. How come ada orang-orang yang gak tau atau gak peduli dengan semua ini? Kemana aja mereka? Dunia terus bergerak. Kenapa melulu ngomongin Palestina sih? Why so serious?” Yah… begitulah mindset ‘kaku dan kurang informasi’ saya waktu itu. Maafkeun…

***

Tibalah hari Minggu bulan Ramadhan di tahun 2007. Saya mendengar ceramah subuh mengenai perjalanan hidup seorang mualaf dari mesjid dekat rumah saya. Akhirnya. Untuk pertama kalinya saya mendengar pendekatan hal-hal gaib yang selalu saya pertanyakan itu secara lumayan logis. Waktu itu saya mendengarkan keseluruhan ceramah di atas kasur saya dengan menajamkan indra pendengaran ke toak mesjid yang sayup-sayup. Niatnya pengen tidur, tapi ceramahnya begitu menarik dan memaku. Selesai ceramah, saya pikir okay this it. Ini hal yang selalu saya tanyakan sejak kecil. Saatnya cari tahu apa itu isi Al-Qur’an. Saat itu juga saya baca terjemahan Al-Qur’an. Tapi saya ternyata blas gak paham apapun maksud Qur’an. Baru baca satu ayat, saya bingung. Ini yang bicara siapa.. ngomong ke siapa.. eventnya kayak gimana. Akhirnya baru baca sebentar, saya tutup lagi. Hidayah menguap.

Berada di lingkungan pertemanan yang lumayan beragam di kampus, membuat ada titik dimana saya penasaran untuk mempelajari lebih dalam salah satu agama (selain Islam) di tahun 2013. Niat saya cuma murni iseng aja waktu itu. Sampai gak sengaja saya nonton video mengenai sejarah berdirinya salah satu agama. Walaupun itu bukan agama yang saya peluk, tapi melihat bahwa ada manipulasi dibalik berdirinya satu agama ini, membuat saya berpikir keras. Lalu bagaimana dengan agama-agama lain? Kata mereka, semua itu kendaraan yang sama menuju Tuhan? Mulai runtuhlah pemikiran itu. Disitulah titik kritis dimana saya terdorong untuk meneliti lebih lanjut agama-agama besar melalui mbah Google & Youtube. Saya pikir, mungkin ini ketertarikan yang berlangsung selama seminggu aja. Tapi ternyata investigasi berlanjut sampai secara natural saya menghabiskan waktu berjam-jam membaca banyak buku di Gramedia (maklum anak kos). Setiap buka laptop, saya selalu surfing hal yang sama. Bahkan tab handphone pun belasan isinya seputar agama. Komparasi antar agama dari berbagai bidang ilmu; sejarah, sains, linguistik, politik. Dan keadaan itu berlangsung sampai hampir dua tahun! Selama dua tahun itu bahkan saya gak bisa melahap musik dan film seperti biasa, hambar rasanya. Waktu itu saya merasa bodoh sekali baru mempelajari hal-hal penting itu. Selama 23 tahun saya fasih sekali dengan dunia pop, sedangkan saya gak tau apa-apa tentang agama, sejarah, dan hal-hal nyata di sekeliling saya. Saya merasa mempelajari semua itu bukan cuma ketertarikan, tapi jadi sebuah urgensi (Jujur aja, mempelajari itu sempat membuat saya merasa kayak alien karena obrolan seputar agama di dunia nyata dan dunia maya masih sesuatu yang agak langka kecuali kalau saya memasukkan diri ke lingkaran kecil, sedangkan waktu itu saya belum bertemu dengan lingkaran kecil itu. Bahkan adik-kakak saya juga masih liberal pandangannya. Tapi berkat peristiwa Kepulauan Seribu, hari ini semua orang bicara agama. Yang gak punya ilmu berani meracau, tapi yang punya ilmu juga tampil percaya diri dan jauh lebih berani untuk bicara. Allah seakan memberi hidayah massal ke Indonesia dan alhamdulillah banyak yang tersadar dan hijrah bareng-bareng.).

Dari berbagai pendekatan ilmu yang saya pelajari itu, saya belum pernah memandang Islam sebegitu rasionalnya sebelumnya. Dan yang paling mengejutkan adalah kesemua agama ini sebetulnya 11-12 kalau kembali ke kitab suci. Namun, kenyataannya mayoritas pemeluk agama justru jauh dari kitab sucinya.

Kebenaran Islam sudah gak terbantahkan lagi, pikir saya waktu itu. Tapi ‘rasa’ itu belum muncul. Saya masih enggan untuk meneliti Al-Qur’an & As-sunah untuk diterapkan. Sembari mempelajari itu semua bahkan saya hampir selalu lewat shalat Subuh. Shalat fardu aja dikerjakan sebagai sesuatu yang lewat aja. Saya pengen bisa merasakan apa yang dirasakan mualaf-mualaf ini waktu syahadat. Tapi saya merasa masih ada missing point. Saya bingung kalau memang jalan hidup ini yang benar, kenapa dunia menawarkan hal yang berlainan? Kenapa citra Islam selalu negatif dan tidak membanggakan?

Alhamdulillah, Allah terus menarik saya untuk mengejar hidayah-Nya. Mempelajari tentang illuminati dan khilafah lah yang uniknya justru membawa saya kembali ke Islam. Saya ingat betapa mindblown nya saya ketika mengetahui adanya Masa Kejayaan Islam. Betapa lamanya periode ini, betapa besar wilayahnya, betapa banyaknya ilmuwan sains lahir di era itu, dan betapa saya, sebagai Muslim, ironisnya gak tahu soal ini sebelumnya. Bodohnya saya yang berpikir bahwa sejarah dan kejayaan dunia itu cuma milik Barat, padahal sejarah itu milik belahan dunia manapun. Dan saya cuma aware dengan dunia Islam setelah 9/11, padahal banyak yang terjadi ratusan-ribuan tahun sebelumnya.

Mempelajari illuminati juga gak kalah mindblown nya. Saya baru sadar ketidakbanggan saya dengan Islam karena mereka terus-terusan membentuk opini yang buruk tentang Islam lewat media. Dan saya hanya menerimanya tanpa mengadakan tabayyun (penelitian) sebelumnya. Bagaimana 9/11 menjatuhkan citra Islam, padahal ada banyak kejanggalan dan dugaan yang mengarah kalau itu inside job. Lalu banyaknya kasus teror yang dulu saya pikir kalau pelakunya benar-benar Muslim, bukan sekedar mereka yang mengaku ‘Muslim’. Padahal saya tahu ajaran Islam itu jauh dari kekerasan.

Saya juga jadi tahu bahwa perubahan peradaban itu ternyata tidak sepenuhnya terjadi secara natural. Ada beberapa orang (dibawah naungan iblis) yang membentuk dunia sebegitu menyenangkannya seperti saat ini. Melalui event-event besar seperti acara olahraga, dunia entertainment, hollywood, game, musik, fashion, dan banyak lagi. Dan tanpa disadari membuat kita lengah dari fitrah kita untuk mempertanyakan tujuan hidup dan akhir hidup ini. Terlalu sibuk dengan perhiasan dunia. Disitulah saya tersadar dan sedih banget. Kok jahat banget ya mereka-mereka yang bikin dunia semanipulatif ini. Lalu jalan hidup seperti apa yang benar? Kenapa mayoritas orang banyak yang menghabiskan energi, waktu, dan uang di dunia yang manipulatif itu?? Saya bener-bener bingung banget waktu itu. Saat itu juga saya google ‘tujuan hidup sebenarnya’. Dan keluarlah ayat-ayat Al-Qur’an ini:

————————————————————————-

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (Surah Al-An’Am ayat 32)

“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu.” (Surah Muhammad ayat 36)

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Surah Al-Ankabut ayat 64)


“Ketahuilah oleh kalian, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang karenanya tumbuh tanam-tanaman yang membuat kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Surah Al-Hadid ayat 20)   


“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (Surah Adz-Dzaariyaat ayat 56)

————————————————————————-

Ayat-ayat itu hit me so bad. Sooo bad.

Seperti ada sesuatu yang menyala dalam hati, setelah itu saya cuma bisa nangis-nangis aja. Saya segera shalat Isya dan saya nangis sesenggukan sepanjang shalat bahkan sampai mau tidur. Sepanjang saya ingat, itu adalah shalat pertama saya selama 23 tahun yang tulus karena Allah (malunya lagi saya baru sadar kalau saya gak tau apa yang saya baca, saya cuma menghafal). Belum pernah saya melihat semuanya sejelas itu. Tabir langit serasa terbuka lebar sampai ke Sidratul Muntaha saat itu. Kemana saja saya selama ini? Toh, Pencipta Langit, Bumi, dan Seisinya memang sudah memperingatkan kalau dunia ini memang panggung sandiwara dalam arti sebenar-benarnya di Al-Qur’an. Dan manusia diciptakan bukan untuk senang-senang. Tapi untuk berusaha meraih pahala demi kehidupan di akhirat kelak yang lingkup dan durasinya jauh lebih luas.

Terbayang semua dosa-dosa di masa lalu. Saya juga menyesal terhadap semua pikiran suudzon saya terhadap orang-orang alim dan ulama yang saya pikir close-minded. Ternyata mereka jauh lebih dalam dan luas ilmunya, tapi mereka sengaja memilih ada di jalan yang lurus ini karena tau mana yang haq, mana yang bathil. Betapa waktu saya habis untuk hal yang sia-sia, sedangkan mati bisa kapan saja dan semua hal yang kita lakukan di dunia bakal diadili. Rasa takut dan bersalah kepada Allah malam itu mengalir deras. Di saat bersamaan saya merasa lega dan bersyukur sekali bisa memandang hidup dari sudut pandang yang sebenarnya. Itu adalah sesuatu termahal yang pernah saya dapat. Saya jadi bisa melihat kalau hakikatnya jalan hidup itu memang cuma ada 2: di jalan Allah, atau di jalan setan dan hawa nafsu.

Setelah itu, keinginan untuk menata semuanya dan kembali ke Allah begitu kuat. Setelah ilmu ini sampai ke saya, tentunya saya gak bisa pura-pura gak tau dan kembali ke kehidupan dulu yang banyak seenaknya. Malam itu (masih) dengan berat hati, saya harus melepas banyak kebiasan lama dan keinginan-keinginan. Saya juga tau kalau PR saya untuk memperdalam ilmu agama justru makin banyak. Maka saya mulai dengan buka Al-Qur’an dengan niatan memahami. Alhamdulillah kali itu Allah mudahkan saya untuk memahami setiap terjemahan ayat demi ayat Al-Qur’an yang saya baca. Ayat-ayat Qur’an terasa personal untuk pertama kalinya. Dan Alhamdulillah saya gak pernah menyangka bahwa mempelajari Al-Qur’an dan Hadist ternyata bisa begitu asyik dan serunya. Kisah para Nabi yang dulu seperti mitos, sekarang berasa nyatanya. Begitu banyak hal yang saya pertanyakan mengenai hal-hal ghaib akhirnya terjawab juga dengan jelas dan logis. Ternyata ajaran Islam itu bukan sekedar ritual agama kayak shalat dan ngaji aja. Tapi Islam itu mengatur semua lini kehidupan, mulai dari hal kecil kayak adab sebelum masuk WC, cara makan, bahkan sampe tata cara bernegara. Saya juga takjub betapa agama ini sangat ditunjang oleh ilmu pengetahuan dibandingkan doktrin semata. Betapa ketatnya penentuan validitas hadist dilihat dari siapa-siapa periwayatnya sebagai rujukan segala kegiatan dalam koridor Islam. Apalagi Al-Qur’an yang berkali-kali menantang manusia untuk berpikir, berpikir, dan berpikir lewat ciptaan-ciptaan Allah.

***

Yah… finally saya mau mengucapkan terima kasih untuk ulama-ulama dan para mualaf intelek di Youtube. Mereka inilah sosok-sosok super cerdas dan keren yang memperkenalkan saya kembali ke Islam yang sesungguhnya. Thanks a lot juga untuk akun-akun Youtube Islam yang membantu newbie kayak saya ini untuk kembali ke fitrahnya.  🙂


Saya yakin semua orang pasti pernah berpikir tentang hal-hal spiritual ( Tuhan, kematian, surga, neraka, tujuan hidup, dsb) walaupun pikiran itu mungkin cuma memakan 1-2% isi kepala. Pemikiran itu bisa jadi cuma ‘nyempil’ di tengah hiruk pikuknya kepala kita. Mayoritas isi kepala orang teruntuk hal-hal yang nyata saja. Jika dihadapakan pada pemikiran spiritual, banyak orang yang menepis karena pemikiran ini terlalu menakutkan dan rumit, dan pada akhirnya mereka kembali memfokuskan dari pada problematika hidup yang nampak saja di depan mata, seperti contohnya; Pendidikan, pekerjaan, gaji, pernikahan, makanan, hiburan, travelling, dst.

Tapi yakin deh.. 1-2% pemikiran itu justru hal yang paling penting dalam hidup. Jangan ditepis.

Toh, pada akhirnya mau udah setinggi apapun jabatan atau sekaya apapun, kekosongan itu pasti akan tetap ada selama kita gak tau kalau sebenarnya semuanya ini untuk apa sih? Mati pun pasti bakal tetep ngejar kita walaupun kita udah pura-pura gak tau dan kabur ke belahan dunia manapun.

Intinya, pemikiran tentang itu memang sudah fitrahnya ada di diri kita. Selanjutnya, titik untuk memperdalamnya pasti Allah kasih lewat serangkaian kejadian. Bisa dalam bentuk musibah, near death experience, mimpi, malam-malam dimana pikiran kita mengakar kemana-kemana, ciptaan-ciptaan Nya, atau mungkin bisa dari hal sesederhana apapun. Untuk mendapat hidayah, setelahnya memang harus dikejar terus dan diusahakan lewat merenung dan banyak belajar. Bukan menunggu hidayah itu datang dari langit tanpa kita berusaha menjemputnya, dan tiba-tiba kita berubah jadi sosok yang spiritual.

Saat ini saya pun masih dalam proses penginstallan mindset baru dan penghapusan aplikasi-aplikasi lama di dalam tubuh ini. Saya pun masih terseok-seok beradaptasi di jalan yang benar ini. Saya masih sesekali denger musik, kadang ngayal waktu shalat, dan belum berani pakai baju syar’i. Tapi saya juga masih terus belajar dan berusaha berubah pelan-pelan. Karena hidayah itu ternyata juga bukan sesuatu yang bila sudah didapat akan otomatis hinggap terus dalam hati. Tapi menahannya dalam hati adalah perjuangan yang harus dilakukan secara continue sampai mati.

Ayo berjuang, umat akhir zaman! \^o^/

Ditulis tahun 2015.

Cek post di bawah:

  1. Untuk Apa Kita Diciptakan di Dunia ini
  2. Hidup Tak Sekedar Hidup!